Sebenarnya desa merupakan gudang potensi bangsa ini. Sayangnya, usaha memaksimalkan potensi sosial desa dalam mendukung kemajuan bangsa belum maksimal. Bagaimanapun, dasar-dasar sosial telah mengakar dan menancap kuat di desa serta dijalankan dengan sukarelawan oleh aktivis sosial desa. Kelebihan masyarakat desa yang guyub dan dibentuk dengan jiwa gotong royong tinggi menjadikan desa sebagai sumber inspirasi dalam membangun Indonesia di masa depan. Potensi-potensi di desa adalah potensi Indonesia yang sebenarnya mempunyai peluang strategis untuk dikembangkan secara profesional.
Selama ini pembangunan nasional kerap melalaikan signifikansi lembaga sosial desa sehingga pembangunan gampang macet di tengah jalan. Pembangunan dan segala kajian serta penelitian yang melingkupinya sedikit sekali yang mau berguru dengan spirit dan etos masyarakat desa sehingga pembangunan bangsa tercerabut dari akar kulturalnya yang sangat signifikan. Robert Chambers (1987: 60) mengkritik gerak negara dan kaum intelektual yang gagal melakukan appraisal (penilaian) atas fakta sosial (social fact) di sekeliling sosiologi pedesaan.
Negara dan kaum intelektual, lanjut Chambers, terjebak menjadi orang luar (outsider) yang gerak pembangunan, gagas penelitian dan kajian seriusnya tak menyentuh jantung permasalahan publik. Mereka sibuk dengan gagasan dari atas yang berseluk-beluk teori melangit tanpa terjun dalam fakta sosial yang riil di masyarakat desa. Akhirnya, hasil penelitiannya sering kali tidak cocok dengan realisasi faktual di lapangan.
Kritik yang dilontarkan Chambers mencoba membaca gerak negara dan kaum intelektual agar tidak teralienasi dari basis sosialnya yakni fakta sosial pedesaan. Khusus kepada kaum intelektual, dalam mazhab Gramscian, sepatutnya mampu memihak dengan kelas atau suatu kelompok tertentu (movement intellectuals). Jangan sampai terjebak dalam sebuah definisi yang menarik garis batas identitas, yang setiap batasan menjadi dua sisi: di sini dan di sana, di dalam dan di luar, kita dan mereka (Bauman, 1989: 8). Lebih tragis kalau gerak intelektual justru, dalam bahasa Edward Said (1989: 207), terjebak "pengkelasduaan yang mengerikan" (dreadful secondariness) terhadap beberapa lapisan masyarakat dan kebudayaan.
Kala Orde Baru berkuasa terlihat sekali masyarakat desa tidak mampu mengembangkan nalar kreatifnya karena dijadikan obyek yang "kaku". Masyarakat desa masih dicap sebagai "warga kelas dua" di Indonesia, padahal mereka adalah kaum pribumi yang gerak napasnya telah terpaut ribuan tahun dengan leluhur. Tragisnya, program pemberdayaan desa justru dilakukan kaum pejabat dan kaum intelektual yang tidak banyak tahu "kondisi faktual" di desa. Sampai saat ini belum ada pengakuan yang setara bagi warga desa sehingga gerakan sosial di desa masih belum maksimal dalam menggerakkan perubahan menuju yang lebih dan beradab.
Menjadi lokomotif kemajuan
Sudah saatnya kita berguru kepada desa. Dari rahim desa, bukan saja terpantul kearifan dan kesederhanaan, tetapi juga inspirasi kemajuan sebuah bangsa. Slogan gotong royong yang dicetuskan Soekarno dalam demokrasi terpimpin tak lain adalah inspirasi dari desa. Bagi Bung Karno, gotong royong malah menjadi inti demokrasi Pancasila yang mengakar kuat di jantung kehidupan warga bangsa. Terbukti, Bung Karno saat itu berani menjadikan Indonesia negara yang mandiri, bahkan berani keluar dari PBB karena mendapat tekanan akan adanya ketergantungan. Ideologi yang berbasiskan nilai yang mengakar di masyarakat desa menjadikan Bung Karno kuat dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indonesia untuk membangun kejayaan bangsa.
Demikian juga Bung Hatta dengan ide ekonomi kerakyatannya. Bung Hatta menginginkan pangkal perekonomian yang akan dibangun Indonesia adalah ekonomi yang berbasis kepada jalan perekonomian yang dimiliki rakyat dan bervisi kepada kesejahteraan rakyat. Sudah pasti, ide besar Bung Hatta ini lahir dari pergulatan hidupnya dalam menata wajah perekonomian bangsa. Beliau kemudian memprakarsai berdirinya koperasi. Dan gagasan besar Bung Hatta saat ini terbukti ketika masyarakat desa semakin berani mengambil gagasan masa depan untuk menyongsong peradaban utama bagi kemajuan bangsa.
Karena potensi dan bukti tersebut itulah, M Dawam Raharjo (1987) melihat bahwa desa sangat strategis kalau dijadikan sebagai lokomotif kemajuan bangsa. Dawam menjelaskan bahwa saatnya bangsa Indonesia belajar kepada masyarakat bawah karena inspirasi pembangunan di masa depan harus kembali potensi dasar yang melekat dalam diri sebuah desa. Di sinilah peran lembaga sosial desa akan sangat signifikan karena akan menjadi kekuatan sosial menuju terwujudnya gerak kemajuan yang efektif.
Ide pemerintah ihwal lahirnya desa peradaban perlu direalisasikan bersama lembaga sosial desa. Tidak saatnya pembangunan desa hanya digerakkan kaum birokrat dan intelektual saja, justru warga desa sendiri beserta organisasi sosial di dalamnya yang mempunyai potensi dan ketepatan dalam membaca peluang bagi kemajuan desanya masing-masing. Kritik Chambers perlu direnungkan agar kegagalan pembangunan di desa tidak lagi gagal. Partisipasi aktif warga desa lewat lembaga sosial desa menjadi momentum strategis bahwa desa akan menjadi lokomotif kemajuan bangsa.
Dalam konteks di atas, menarik yang dilakukan M Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006, yang mendirikan Graamen Bank di sebuah desa di negaranya, Bangladesh. Yunus melepas jabatan gelar doktoralnya dari kampus, ia terjun langsung berproses dengan warga desa, dan merumuskan kebijakan strategis yang dijalankan bersama masyarakat desanya.
MUHAMMADUN AS Analis Sosial, Peneliti Lakpesdam NU DIY
Negara dan kaum intelektual, lanjut Chambers, terjebak menjadi orang luar (outsider) yang gerak pembangunan, gagas penelitian dan kajian seriusnya tak menyentuh jantung permasalahan publik. Mereka sibuk dengan gagasan dari atas yang berseluk-beluk teori melangit tanpa terjun dalam fakta sosial yang riil di masyarakat desa. Akhirnya, hasil penelitiannya sering kali tidak cocok dengan realisasi faktual di lapangan.
Kritik yang dilontarkan Chambers mencoba membaca gerak negara dan kaum intelektual agar tidak teralienasi dari basis sosialnya yakni fakta sosial pedesaan. Khusus kepada kaum intelektual, dalam mazhab Gramscian, sepatutnya mampu memihak dengan kelas atau suatu kelompok tertentu (movement intellectuals). Jangan sampai terjebak dalam sebuah definisi yang menarik garis batas identitas, yang setiap batasan menjadi dua sisi: di sini dan di sana, di dalam dan di luar, kita dan mereka (Bauman, 1989: 8). Lebih tragis kalau gerak intelektual justru, dalam bahasa Edward Said (1989: 207), terjebak "pengkelasduaan yang mengerikan" (dreadful secondariness) terhadap beberapa lapisan masyarakat dan kebudayaan.
Kala Orde Baru berkuasa terlihat sekali masyarakat desa tidak mampu mengembangkan nalar kreatifnya karena dijadikan obyek yang "kaku". Masyarakat desa masih dicap sebagai "warga kelas dua" di Indonesia, padahal mereka adalah kaum pribumi yang gerak napasnya telah terpaut ribuan tahun dengan leluhur. Tragisnya, program pemberdayaan desa justru dilakukan kaum pejabat dan kaum intelektual yang tidak banyak tahu "kondisi faktual" di desa. Sampai saat ini belum ada pengakuan yang setara bagi warga desa sehingga gerakan sosial di desa masih belum maksimal dalam menggerakkan perubahan menuju yang lebih dan beradab.
Menjadi lokomotif kemajuan
Sudah saatnya kita berguru kepada desa. Dari rahim desa, bukan saja terpantul kearifan dan kesederhanaan, tetapi juga inspirasi kemajuan sebuah bangsa. Slogan gotong royong yang dicetuskan Soekarno dalam demokrasi terpimpin tak lain adalah inspirasi dari desa. Bagi Bung Karno, gotong royong malah menjadi inti demokrasi Pancasila yang mengakar kuat di jantung kehidupan warga bangsa. Terbukti, Bung Karno saat itu berani menjadikan Indonesia negara yang mandiri, bahkan berani keluar dari PBB karena mendapat tekanan akan adanya ketergantungan. Ideologi yang berbasiskan nilai yang mengakar di masyarakat desa menjadikan Bung Karno kuat dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indonesia untuk membangun kejayaan bangsa.
Demikian juga Bung Hatta dengan ide ekonomi kerakyatannya. Bung Hatta menginginkan pangkal perekonomian yang akan dibangun Indonesia adalah ekonomi yang berbasis kepada jalan perekonomian yang dimiliki rakyat dan bervisi kepada kesejahteraan rakyat. Sudah pasti, ide besar Bung Hatta ini lahir dari pergulatan hidupnya dalam menata wajah perekonomian bangsa. Beliau kemudian memprakarsai berdirinya koperasi. Dan gagasan besar Bung Hatta saat ini terbukti ketika masyarakat desa semakin berani mengambil gagasan masa depan untuk menyongsong peradaban utama bagi kemajuan bangsa.
Karena potensi dan bukti tersebut itulah, M Dawam Raharjo (1987) melihat bahwa desa sangat strategis kalau dijadikan sebagai lokomotif kemajuan bangsa. Dawam menjelaskan bahwa saatnya bangsa Indonesia belajar kepada masyarakat bawah karena inspirasi pembangunan di masa depan harus kembali potensi dasar yang melekat dalam diri sebuah desa. Di sinilah peran lembaga sosial desa akan sangat signifikan karena akan menjadi kekuatan sosial menuju terwujudnya gerak kemajuan yang efektif.
Ide pemerintah ihwal lahirnya desa peradaban perlu direalisasikan bersama lembaga sosial desa. Tidak saatnya pembangunan desa hanya digerakkan kaum birokrat dan intelektual saja, justru warga desa sendiri beserta organisasi sosial di dalamnya yang mempunyai potensi dan ketepatan dalam membaca peluang bagi kemajuan desanya masing-masing. Kritik Chambers perlu direnungkan agar kegagalan pembangunan di desa tidak lagi gagal. Partisipasi aktif warga desa lewat lembaga sosial desa menjadi momentum strategis bahwa desa akan menjadi lokomotif kemajuan bangsa.
Dalam konteks di atas, menarik yang dilakukan M Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006, yang mendirikan Graamen Bank di sebuah desa di negaranya, Bangladesh. Yunus melepas jabatan gelar doktoralnya dari kampus, ia terjun langsung berproses dengan warga desa, dan merumuskan kebijakan strategis yang dijalankan bersama masyarakat desanya.
MUHAMMADUN AS Analis Sosial, Peneliti Lakpesdam NU DIY
1 komentar:
Itu benar sekali, sama juga jika ingin membenahi moral, mentalitas bangsa ini dimulai dari pribadi atau diri sendiri kemudian meingkat pada keluaarga, lingkungan sekitar, desa, kabupaten/kota,propinsi dan akhirnya seluruh negeri ini. dengan didukung oleh UU dan regulasi yang tepat maka tidak mustahil kehidupan berbangsa dan bernegara akan tertata dengan baik, karakter bangsa Indonesia yang sudah terkenal ke seluruh dunia akaan semakin mantap. Tetapi yang lebih penting lagi adalah para pelaksana harus bersih dulu dari penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
Posting Komentar